SLE (Sistemik Lupus Eritematosus)

by 05.13 0 komentar




SLE (Sistemik Lupus Eritematosus)
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Dewasa I

Disusun oleh Kelompok 3 Kelas A.14.1:

Ana Yuliana                     22020114120065
Azkiya Ulki Fadhilla        22020114120067
Esti Aryani                       22020114120057
Innas Khanifah                 22020114120037
Lina Anggraeni                 22020114130126
Mareta Eka                       22020114120042
Rianti Putri Tsani              22020114130122
Yana Aprilina P.               22020114130128


JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2015


 

KATA PENGANTAR
             Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan limpahan rahmatnya lah kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan tepat waktu. Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah tentang “Sistemik Lupus Eritematosus (SLE)”, sebagai tugas kuliah Keperawatan Dewasa. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dosen  Pembimbing dan juga kepada berbagai pihak yang telah memberikan dorongan dan motivasi.
            Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun guna menyempurnakan makalah ini dan dapat menjadi acuan dalam menyusun makalah-makalah atau tugas-tugas selanjutnya.
            Penulis juga mohon maaf apabila ada terdapat kekurangan dan ada kesalahan pengetikan. Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh terima kasih dan semoga Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat bagi pembaca.









Semarang, 3 Oktober 2015



Penulis


DAFTAR ISI



1.1           Latar Belakang

Penyakit lupus adalah penyakit baru yang mematikan setara dengan kanker. Tidak sedikit pengindap penyakit ini tidak tertolong lagi, di dunia terdeteksi penyandang penyakit Lupus mencapai 5 juta orang. Arti kata lupus sendiri dalam bahasa Latin berarti “anjing hutan”. Awalnya, penderita penyakit ini dikira mempunyai kelainan kulit, berupa kemerahan di sekitar hidung dan pipi . Bercak-bercak merah di bagian wajah dan lengan, panas dan rasa lelah berkepanjangan , rambutnya rontok, persendian kerap bengkak dan timbul sariawan. Penyakit ini tidak hanya menyerang kulit, tetapi juga dapat menyerang hampir seluruh organ yang ada di dalam tubuh. Gejala-gejala penyakit dikenal sebagai  Sistemik Lupus Eritomatosusk (SLE) alias Lupus. Eritomatosus artinya kemerahan. sedangkan sistemik bermakna menyebar luas keberbagai organ tubuh. Istilahnya disebut SLE atau Lupus. Dr. Rahmat Gunadi dari Fak. Kedokteran Unpad/RSHS menjelaskan, penyakit lupus adalah penyakit sistem imunitas di mana jaringan dalam tubuh dianggap benda asing. Reaksi sistem imunitas bisa mengenai berbagai sistem organ tubuh seperti jaringan kulit, otot, tulang, ginjal, sistem saraf, sistem kardiovaskuler, paru-paru, lapisan pada paru-paru, hati, sistem pencernaan, mata, otak, maupun pembuluh darah dan sel-sel darah.
Penyakit ini dapat mengenai semua lapisan masyarakat, 1-5 orang di antara 100.000 penduduk, bersifat genetik, dapat diturunkan. Wanita lebih sering 6-10 kali daripada pria, terutama pada usia 15-40 tahun. Timbulnya penyakit ini karena adanya faktor kepekaan dan faktor pencetus yaitu adanya infeksi, pemakaian obat-obatan, terkena paparan sinar matahari, pemakaian pil KB, dan stress. Penyakit ini justru kebanyakaan diderita wanita usia produktif sampai usia 50 tahun sekalipun ada juga pria yang mengalaminya. Oleh karena itu dianggap diduga penyakit ini berhubungan dengan hormon estrogen.

1.2           Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penyakit SLE ini antara lain:
  1. Menjelaskan definisi penyakit SLE
  2. Menjelaskan imunopatologi penyakit SLE
  3. Menjelaskan etiologi penyakit SLE
  4. Pathway penyakit SLE
  5. Menjelaskan manifestasi klinis penyakit SLE
  6. Menjelaskan cara mendiagnosis penyakit SLE
  7. Komplikasi penyakit SLE
  8. Menjelaskan derajat berat ringannya penyakit SLE
  9. Menjelaskan penatalaksanaan medis pada penyakit SLE
  10. Faktor risiko penyakit SLE
  11. Asuhan keperawatan pada penyakit SLE

1.3              Tujuan Masalah

Adapun tujuan dalam pembahasan makalah ini mengenai penyakit SLE antara lain:
  1. Mengetahui definisi penyakit SLE
  2. Mengetahui imunopatologi penyakit SLE
  3. Mengetahui etiologi penyakit SLE
  4. Mengetahui Pathway penyakit SLE
  5. Mengetahui manifestasi klinis penyakit SLE
  6. Mengetahui cara mendiagnosis penyakit SLE
  7. Mengetahui Komplikasi penyakit SLE
  8. Mengetahui derajat berat ringannya penyakit SLE
  9. Mengetahui penatalaksanaan medis pada penyakit SLE
  10. Mengetahui Faktor risiko penyakit SLE
  11. Mengetahui Asuhan keperawatan pada penyakit SLE


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA



2.1           Definisi Penyakit SLE (Sistemik Lupus Eritematosus)

Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) adalah penyakit autoimun ditandai dengan adanya inflamasi yang tersebar luas di bagian tubuh, selain itu penyakit ini mempengaruhi setiap organ atau sistem dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun, sehingga dapat mengakibatan kerusakan jaringan.

2.2           Imunopatologi Penyakit SLE

Pada SLE tidak terdapat manifestasi imunopatologis tunggal, vaskulitis, koagulopati, inflamasi jaringan, dan deposit kompleks imum semuanya ditemukan. Terdapat kelainan dalam:
  1. Imum selular dan humoral
  2. System komplemen, yang dapat mendasari bersihan kompleks imun yang abnormal.
  3. Apoptosis, yang mungkin menyebabkan pembentukan antibody antinuclear dan antifosfolipid yang khas.
Self-antigen (protein/DNA nukleosomal, RNA/protein, fosfolipid) dapat ditemukan oleh sistem imun pada gelembung permukaan sel apoptotik, sehingga antigen autoantibody, dan kompleks imun tersebut dapat bertahan untuk beberapa jangka waktu yang panjang, menyebabkan inflamasi dan penyakit berkembang.
Aktivasi dari komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan kemotaksin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan sel imun akan memicu pelepasan keomtaxin, sitokin, chemokin, peptide vasoaktif, dan enzim perusak. Pada peradangan yang kronis, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase kronis berperan terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan lainnya.

2.3           Etiologi Penyakit SLE

Etiologi dari penyakit ini belum seluruhnya diketahui namun diduga :
a.     Faktor genetik : Keluarga dari penderita penyakit SLE mempunyai insidens yang tinggi untuk penyakit pada jaringan ikat.
b.    Faktor obat : terutama hydrallazine yang digunakan secara luas untuk terapi pada hipertensi.
c.     Jenis kelamin : lebih tinggi pada wanita (11,6%) dibanding pria (2,8%).
d.    Radiasi sinar ultraviolet : dapat juga sebagai faktor pencetus pada onset SLE atau penyebab kekambuhan pada perjalanan penyakit ini di mana dapat ditemukan antibodi terhadap radiasi ultraviolet.
e.     Faktor lain yang dapat sebagai pencetus adalah infeksi bakteri, dan stress baik fisik maupun mental.


2.4           Pathway penyakit SLE


2.5 Manifestasi Klinis Penyakit SLE

Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai SLE. Gejala konstitusi nonspesifik nyeri sendi, letargi, penurunan berat badan, dan limfadenopati. Gangguan sistemik (demam dan malaise berat) biasnya sangat nyata pada lupus aktif dan sering merupakan manifestasi yang dominan. Manifestasi yang paling dikenali pada lupus adalah ruam muka “kupu-kupu” / malar, yang biasanya timbul setelah paparan sinar matahari.
1)      Manifestasi Lupus Serebri
a)      Serangan tiba-tiba
b)     Psikosis
c)      Migren
d)     Ansietas / depresi
e)      Nyeri kepala
2)      Manifestasi Paru
a)         Emboli paru: sindrom antifosfolipid (APS) → thrombosis arteri + vena
b)        Fibrosis paru
3)      Manifestasi Tangan
a)         Artralgia / artritis tanpa deformitas 90%
b)        Raynaud 60%
4)      Manifestasi antifosfolipid Tungkai
a)         Neuropati perifer 15%
b)        Myositis 5%
5)      Manifestasi Mukosa Orogenital + kulit
a)         Alopesia
b)        Ruam malar – 80%
c)         Mulut: ulserasi aftosa
d)        Livedo retikularis (antibodi antifosfolipid)
6)      Manifestasi Ginjal
a)         Gagal ginjal stadium akhir < 5%
7)      Manifestasi Kehamilan
a)         Keguguran (trimester ke2) pada APS
b)        Antibody anti Ro → lupus neonatorum (sembuh dengan sendirinya)
8)      Manifestasi Susunan Saraf
Keterlibatan Neuropsikiatri SLE sangat bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada SLE. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus. Ketelibatan saraf otak, jarang ditemukan.Kelainan psikiatrik sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau perdarahan.
9)      Manifestasi Neuropsikiatrik
SLE sangat bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati perifer, sampai kejang dan psikosis. Keterlibatan neuropsikiatrik akibat SLE sulit ditegakkan karena gambaran klinis yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih banyak didasarkan pada temuan klinis dengan menyingkirkan kemungkinan lain seperti sepsis, uremia, dan hipertensi berat.
 Kelainan tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada SLE. Neuropati perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus. Kelainan psikiatrik sering ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi. Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak kadang- kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau perdarahan.
10)  Manifestasi pada Mata
Didapatkan pada 20% penderita SLE yang dapat mengenai palpebra, kornea, retina dan saraf optik. Gambaran kelainan mata yang dapat ditemukan antara lain :
a. Palpebra
Kelainan palpebra inferior dapat merupakan bagian dari erupsi kulit yang tak jarang mengenai pipi dan hidung.
b. Konjungtiva
Sindroma mata kering (konjungtivitis Sicca) dan konjungtivitis nonspesifik umum terjadi pada SLE namun jarang membahayakan penglihatan.Pada permulaannya konjungtiva menunjukkan sedikit sekret yang mukoid disusul dengan hiperemia yang intensif dan edema membran mukosa. Reaksi ini dapat lokal atau difus. Reaksi konjungtiva yang berat dapat menyebabkan pengerutan konjungtiva.
c. Sklera
Pada sklera dapat ditemukan skleritis anterior yang difus atau noduler yang makin lama makin sering kambuh dan setiap kali kambuh keadaan bertambah berat. Dengan bekembangnya penyakit, skleritis berubah menjadi skleritis nekrotik yang melanjut dari temapat SLEi semula ke segala jurusan sampai dihentikan dengan pengobatan.
d. Uvea
Terjadi kelainan akibat radang sklera. Jarang menimbulkan sinekia.
e. Retina
Dapat menimbulkan retinopati pada kira-kira 25% penderita. Retinopati merupakan kelainan pada retina yang tidak disebabkan oleh proses peradangan. Keterlibatan retina pada SLE merupakan manifestasi terbanyak kedua setelah keratokonjungtivitis sicca (KCS). 88% penderita retinopati SLE memiliki penyakit sistemik yang aktif dan penurunan angka kesembuhan yang signifikan. Oleh karena itu, monitoring ketat dan pengobatan yang aggresif pada pasien-pasien dengan retinopati SLE sangatlah penting.
a. Akibat SLE murni : pada retina ditemukan gambaran cotton wool patches yang merupakan gejala utama yang dapat timbul pada masa toksis, perdarahan superfisial, eksudat putih abu-abu dan edema papil.
b. Akibat hipertensi yang berlangsung lama : karena SLE menyebabkan nefropati yang kemudian dapat menyebabkan hipertensi, maka pada penderita SLE yang lanjut dapat ditemukan gambaran fundus hipertensi.
Retinopati dapat membaik sejalan dengan keberhasilan penanganan penyakit sistemiknya. Bagaimanapun, penderita tetap harus dimonitor secara seksama mengenai tanda-tanda eksaserbasi saat gejala sistemik tidak ada. Pemberian kortikosteroid sistemik diindikasikan pada nyeri hebat optalmoplegia.

2.5                Diagnosis Penyakit SLE

 Diagnosis SLE, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium. American College of Rheumatology (ACR). Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini tidaklah mudah ditegakkan. SLE pada tahap awal, seringkali bermanifestasi sebagai penyakit lain misalnya artritis rheumatoid, gelomerulonefritis, anemia, dermatitis dan sebagainya. Dimana apabila didapatkan 4 kriteria, diagnosis SLE dapat ditegakkan. Kriteria tersebut adalah :
Kriteria
Batasan
Ruang malar
Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah malar dan cenderung tidak melibatkan lipat nasolabial
Ruam discoid
Plak eritema  menonjol dengan karatorik dan sumbatan folikular. Pada LES lanjut dapat ditemukan parut atrofik
Fotosensitivitas
Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal terhadap sinar matahri, baik dari anamnesis pasien atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa
Ulkus mulut
Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan dilihat oleh dokter pemeriksa
Artritis
Arthritis non erosive yang melibatkan dua atau lebih sendi perifer,ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusia
Serositis :
Pleuritis


Perikarditis

a.       Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti efusi pleura
b.      Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial friction rub atau terdapat bukti efus pericardium
Gangguan renal
a.       Proteinuria menetap >o.5 gram dari atau >3+ bila tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif
b.      Silinder seluler : dapat berupa silinder eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau campuran
Gangguan neurologi
a.       Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguanmetabolik ( mislanya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit )
b.      Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau gangguan metabolic ( misalnya uremia, ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit )
Gangguan hematologi
a.       Anemia hemolitik dengan retikulosis
b.      Lekopenia <4.000mm pada dua kali pemeriksaan atau lebih
c.       Limfopenia <1.500 mm pada dua kali pemeriksaan atau lebih
d.      Trombositopenia <100.000 mm tanpa disebabkan oleh obat-obatan
Gangguan imunologi
a.       Anti-DNA : antibody terhadap  native DNA dengan titer yang abnormal
b.      Anti-Sm : terdapatnya antibody terhadap antigen nuclear Dm
c.       Temuan positif terhadap antibody antifosolipid yang didasarkan atas :
1.      Kadar serum antibody antikardiolipin abnormal baik IgG atau IgM
2.      Tes lupus antikoagulan positif menggunakan metode standart
3.      Hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan tes imobilisasi treponema pallidum atau tes fluoresensi absorpsi antibody terponema
Antibody antinuklear
Titer abnormal dari antibody antinuklear
Positif ( ANA )
Berdasarkan pemeriksaan imunoflooresensi atau pemeriksaan setingkat pada setaip kurun waktu perjalanan penyakit  tanpa keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan sindroma lupus yang diinduksi obat

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis SLE memiliki sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin SLE dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinik. Bila hasil tes ANA negatif, maka kemungkinan bukan SLE. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi klinik lain tidak ada, maka belum tentu SLE, dan observasi jangka panjang diperlukan.
Diagnosis penyakit Systemic Lupus Erythematosus ditegakkan apabila terdapat empat atau lebih menurut kriteria ARA (American Rheumatism Association), sebagai berikut:
a.       Malar rash
b.      Discoid rash
c.       Photosensitivity
d.      Ulkus nasofaring atau pada mulut
e.       Non-erosive arthritis
f.       Serositis-pleuritis atau pericarditis
g.      Gangguan pada ginjal-persistent proteinuria (>0,5 g/hari) atau cellular casts yang mencakup eritrosit, hemoglobin, granular, tubular atau gabungan semuanya.
h.      Kelainan neurologis misalnya kejang atau psikosis pada penderita
i.        Kelainan hematologi, yaitu anemia hemolytic dengan retikulosit atau leukopenia (<4.000/mm3) atau trombositopenia (<100.000/mm3) atau lymphopenia (<1.500/mm3).
j.        Kelainan imunologis dengan ditemukannya sel LE atau anti DNA dalam jumlah abnormal atau anti Sn atau pemeriksaan serologis untuk syphilis memberikan hasil positif palsu minimal enam bulan yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan pergerakan treponema pallidum.
k.      Antinuclear antibodies (ANA), suatu titer abnormal dari antinuclear antibody melalui pemeriksaan immunofluorescence.

2.6           Faktor risiko penyakit SLE:

1.    Faktor fisik / kimia
a)                  Amin aromatic
b)                  Hydrazine
c)                  Obat-obatan (prokainamid, hidralazin, klorpromazin, isoniazid, fenitoin,    penisilamin)
2.    Faktor makanan
a)                   Konsumsi lemak jenuh yang berlebihan
b)                  L- canavanine (kuncup dari elfalfa)
3.    Agen infeksi
a)                   Retrovirus
b)                  DNA bakteri / endotoksin
4.    Hormone dan estrogen lingkungan (environmental estrogen)
a)                   Terapi sulih (HRT), pil kontrasepsi oral.
b)                  Paparan estrogen prenatal

2.7           Pemeriksaan Penunjang

1)      Pemeriksaan Darah Rutin dan Pemeriksaan Urin
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada penyakit Lupus Eritematosus Sistemik ( SLE ) adalah pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan urin. Hasil pemeriksaan darah pada penderita SLE menunjukkan adanya anemia hemolitik, trombositopenia, limfopenia, atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat selama penyakit aktif, Coombs test mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-globulin terbalik, dan serum globulin meningkat. Selain itu, hasil pemeriksaan urin pada penderita SLE menunjukkan adanya proteinuria, hematuria, peningkatan kreatinin, dan ditemukannya Cast, heme granular atau sel darah merah pada urin.
2)      Pemeriksaan Autoantibodi
Proses patogenik setiap penyakit tidak terlepas kaitannya dengan berbagai proses imunologik, baik yang non spesifik atau spesifik. Kaitan tersebut tentunya terlihat lebih nyata pada penyakit-penyakit autoimun termasuk di dalamnya SLE, Arthritis Reumatoid, sindroma Sjogren dan sebagainya. Adanya antibodi termasuk autoantibodi sering dipakai dalam upaya membantu penegakkan diagnosis maupun evaluasi perkembangan penyakit dan terapi yang diberikan.
Pembentukan autoantibodi cukup kompleks dan belum ada satu kajian yang mampu menjelaskan secara utuh mekanisme patofisiologiknya. Demikian pula halnya dengan masalah otoimunitas. Pada masalah yang terakhir, dikatakan terdapat kekacauan dalam sistim toleransi imun dengan sentralnya pada T- helper dan melahirkan banyak hipotesis, antara lain modifikasi autoantigen, kemiripan atau mimikri molekuler antigenik terhadap epitop sel-T, cross reactive peptide terhadap epitop sel-B, mekanisme bypass idiotipik, aktivasi poliklonal dan sebaginya. Mekanisme lain juga dapat dilihat dari sudut adanya gangguan mekanisme regulasi sel baik dari tingkat thymus sampai ke peripher. Kekacauan ini semakin besar kesempatan terjadinya sejalan dengan semakin bertambahnya usia seseorang. Umumnya, autoantibodi itu sendiri tidak segera menyebabkan penyakit.
Oleh karenanya, lebih baik autoantibodi dipandang sebagai petanda (markers) proses patologik daripada sebagai agen patologik. Kadarnya yang dapat naik atau turun dapat berkaitan dengan aktivitas penyakit atau sebagai hasil intervensi terapi. Kompleks autoantigen dan autoantibodilah yang akan memulai rangkaian penyakit autotoimun. Hingga saat ini hipotesis yang dianut adalah autoantibodi baru dikatakan memiliki peran dalam perkembangan suatu penyakit reumatik autoimun apabila ia berperan dalam proses patologiknya.
a)      Antibodi Antinuklear
Antinuklear antibodi (ANA) merupakan suatu kelompok autoantibodi yang spesifik terhadap asam nukleat dan nukleoprotein, ditemukan pada connective tissue disease seperti SLE, sklerosis sistemik, Mixed Connective Tissue Disease (MCTD) dan sindrom sjogren’s primer. ANA pertama kali ditemukan oleh Hargreaves pada tahun 1948 pada sumsum tulang penderita SLE. Dengan perkembangan pemeriksaan imunodifusi dapat ditemukan spesifisitas ANA yang baru seperti Sm, nuclear ribocleoprotein (nRNP), Ro/SS-A dan La/SS-B. ANA dapat diperiksa dengan menggunakan metode imunofluoresensi.
ANA digunakan sebagai pemeriksaan penyaring pada connective tissue disease. Dengan pemeriksaan yang baik, 99% penderita SLE menunjukkan pemeriksaan yang positif, 68% pada penderita sindrom Sjogrens dan 40% pada penderita skleroderma.ANA juga pada 10% populasi normal yang berusia > 70 tahun.
b)      Antibodi terhadap DNA
Antibodi terhadap DNA (Anti ds-DNA) dapat digolongkan dalam antibody yang reaktif terhadap DNA natif ( double stranded-DNA). Anti ds-DNA positif dengan kadar yang tinggi dijumpai pada 73% SLE dan mempunyai arti diagnostik dan prognostik. Kadar anti ds-DNA yang rendah ditemukan pada sindrom Sjogrens, arthritis reumatoid. Peningkatan kadar anti ds-DNA menunjukkan peningkatan aktifitas penyakit. Pada SLE,anti ds-DNA mempunyai korelasi yang kuat dengan nefritis lupus dan aktifitas penyakit SLE. Pemeriksaan anti ds-DNA dilakukan dengan metode radioimmunoassay, ELISA dan C.luciliae immunofluoresens.
3)      Pemeriksaan Komplemen
Komplemen adalah suatu molekul dari sistem imun yang tidak spesifik. Komplemen terdapat dalam sirkulasi dalam keadaan tidak aktif. Bila terjadi aktivasi oleh antigen, kompleks imun dan lain lain, akan menghasilkan berbagai mediator yang aktif untuk menghancurkan antigen tersebut. Komplemen merupakan salah satu sistem enzim yang terdiri dari 20 protein plasma dan bekerja secara berantai (self amplifying) seperti model kaskade pembekuan darah dan fibrinolisis. Pada SLE, kadar C1,C4,C2 dan C3 biasanya rendah, tetapi pada lupus kutaneus normal. Penurunan kadar kompemen berhubungan dengan derajat beratnya SLE terutama adanya komplikasi ginjal. Observasi serial pada penderita dengan eksaserbasi, penurunan kadar komplemen terlihat lebih dahulu dibanding gejala klinis.

2.8           Komplikasi Penyakit SLE

1. Serangan pada Ginjal
a)      Kelainan ginjal ringan (infeksi ginjal)
b)      Kelainan ginjal berat (gagal ginjal)
c)      Kebocoran ginjal (protein terbuang secara berlebihan melalui urin).
2. Serangan pada Jantung dan Paru
a)    Pleuritis
b)   Pericarditis
c)    Efusi pleura
d)   Efusi pericard
e)    Radang otot jantung atau Miocarditis
f)    Gagal jantung
g)   Perdarahan paru (batuk darah)
3. Serangan Sistem Saraf
a)    Sistem saraf pusat
Ø  Cognitive dysfunction
Ø  Sakit kepala pada lupus
Ø  Sindrom anti-phospholipid
Ø  Sindrom otak
Ø  Fibromyalgia
b. Sistem saraf tepi
Ø Mati rasa atau kesemutan di lengan dan kaki
c. Sistem saraf otonom
Gangguan suplai darah ke otak dapat menyebabkan kerusakan jaringan otak, dapat menyebabkan kematian sel-sel otak dan kerusakan otak yang sifatnya permanen (stroke). Stroke dapat menimbulkan pengaruh sistem saraf otonom
4. Serangan pada Kulit
a)      Lesi parut berbentuk koin pada daerah kulit yang terkena langsung cahaya disebut lesi discoid.
b)      Ciri-ciri lesi spesifik ditemukan oleh Sonthiemer dan Gilliam pada akhir 70-an :
a.       Berparut, berwarna merah (erythematosus), berbentuk koin sangat sensitif terhadap sengatan matahari. Jenis lesi ini berupa lupus kult subakut/cutaneus lupus subacute. Kadang menyerupai luka psoriasis atau lesi tidak berparut berbentuk koin.
b.      Lesi dapat terjadi di wajah dengan pola kupu-kupu atau dapat mencakup area yang luas di bagian tubuh
c)      Lesi non spesifik
d)     Rambut rontok (alopecia)
e)      Vaskullitis : berupa garis kecil warna merah pada ujung lipatan kuku dan ujung jari. Selain itu, bisa berupa benjolan merah di kaki yang dapat menjadi borok
f)       Fotosensitivitas : pipi menjadi kemerahan jika terkena matahari dan kadang di sertai pusing.
5. Serangan pada Sendi dan Otot
a)      Radang sendi pada lupus
b)      Radang otot pada lupus
6. Serangan pada Mata
7. Serangan pada Darah
a)      Anemia
b)      Trombositopenia
c)      Gangguan pembekuan
d)     Limfositopenia
e)      Serangan pada Hati

Pasien Diagnostik:
1. Serangan pada Ginjal
a)         Urinalisis
b)        Creatinin clearence test
c)         BUN
d)        Sinar X
e)         Biopsi ginjal
f)         Therapi :
a.                   Kortikosteroid (Prednison, Prednisolone, Metilprednisolone)
b.                   Sitostatik/Imunosupresif (Azatioprin, Siklofosfamide)
c.                   Hemodialisa
2. Serangan pada Jantung dan Paru
a)    Semua pasien lupus mengalami serangan batuk secara tiba-tiba atau rasa sakit di dada harus segera memberitahu dokter.
b)    Masalah jantung dan paru yang berkaitan dengan lupus dapat di obati namun, tetap harus ditindak lanjuti secara seksama
3. Serangan Sistem Saraf
a)    Pengobatan sistem saraf lupus tergantung dari gejalanya.
b)    Pengobatan dapat menggunakan : steroid, imunosupresan, anti koagulan,  antibiotik, anti konvulsan, anti depresi, konsultasi dengan psikiater, atau operasi pembedahan.
c)    Pada banyak pasien lupus, keterlibatan sistem saraf tidak bisa disembuhkan sama sekali
4. Serangan pada Kulit
a)    Pengobatan penyakit kulit akibat lupus eritematosus sistemik dapat menggunakan : cream steroid, plester steroid untuk menutup luka lupus, atau dengan suntikan steroid dosis tinggi.
b)    Untuk luka akibat lupus yang menyebar luas, sering diobati dengan hidroksikhloroquin (plaquenil) atau di kombinasi dengan steroid oral dosis tinggi untuk waktu yang singkat.
c)    Cream pelindung matahari digunakan untuk mencegah luka kulit lupus.
d)   Sebaiknya odapus menghindari paparan sinar matahari secara langsung dalam waktu yang lama
5. Serangan pada Sendi dan Otot
a)    Radang sendi pada lupus dapat diobati : NSAIDs, seperti aspirin, ibuprofen, dan naproxen.
b)    Bila tidak efektif dapat digunakan obat-obatan anti malaria seperti hidroksihloroquin (plaquenil) efektif untuk mengobati gejala kulit dan sendi yang biasa terjadi pada lupus eritematosus sistemik.
c)    Anti malaria juga dapat meredakan gejala ruam kulit dan sendi pada pasien lupus

2.10      Derajat Berat Ringannya Penyakit SLE

            Seringkali terjadi kebingungan dalam proses pengolaan SLE, terutama menyangkut obat yang akan diberikan, beberapa dosis, lama pemberian dan pemantauan efek samping obat yang diberikan pada pasien. Salah satu upaya yang dilakukan untuk memperkecil berbagai kemungkinan kesalahan adalah dengan ditetapkannya gambaran tingkat keparahan SLE.
Penyakit SLE dapat dikategorikan ringan atau berat sampai mengancam nyawa.
  1. Kriteria untuk dikatakan SLE ringan:
a.      secara klinis tenang
b.      tidak terdapat tanda atau gejala yang mengancam nyawa
c.       fungsi organ normal atau stabil, yaitu: ginjal, paru, jantung, gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi hematologi dan kulit
  1. penyakit SLE dengan tingkat keparahan sedang manakala ditemukan:
a.      Nefritis ringan sampai sedang (Lupus nefritis kelas I dan II)
b.      Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
c.       Serositis mayor
  1. Penyakit SLE berat atau mengancam nyawa apabila ditemukan keadaan sebagaimana tercantum di bawah ini, yaitu:
a.       Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria, miokarditis, tamponade jantung, hipertensi maligna.
b.      Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli paru, infark paru,  ibrosis interstisial, shrinking lung.
c.       Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d.      Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.\
e.       Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister).
f.       Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati transversa,  mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma demielinasi.
g.      Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm), trombositopenia < 20.000/mm3, purpura trombotik trombositopenia, thrombosis vena atau arteri.

2.11 Pengobatan SLE
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan atau disebut pilar pengobatan. Pengobatan SLE ini dilakukan secara bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Perlu dilakukan upaya pemantauan penyakit mulai dari dokter umum di perifer sampai ke tingkat dokter konsultan, terutama ahli reumatologi.
Cara pengobatan SLE
  1. Edukasi atau konseling
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari sekitar dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau topi; melakukan latihan secara teratur. Pasien harus  memperhatikan bila mengalami infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ, baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan. Edukasi keluarga diarahkan untuk memangkas dampak stigmata psikologik akibat adanya keluarga dengan SLE, memberikan informasi perlunya dukungan keluarga yang tidak berlebihan. Hal ini dimaksudkan agar pasien dengan SLE dapat dimengerti oleh pihak keluarganya dan mampu mandiri dalam kehidupan kesehariannya.
  1. Program Rehabilitasi
Pada program rehabilitasi perlu diperhatikan bahwasannya akan turunnya masa otot sehingga 30% apabila pasien dengan SLE dibiarkan dalam kondisi imobilitas selama lebih dari 2 minggu. Berbagai latihan diperlukan untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas isik seperti pemberian panas atau dingin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau spasme otot. Demikian pula modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri atau kekakuan otot. Secara garis besar, maka tujuan, indikasi dan tekhnis pelaksanaan program rehabilitasi yang melibatkan beberapa maksud di bawah ini, yaitu:
a. Istirahat
b. Terapi isik
c. Terapi dengan modalitas
d. Ortotik
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid (KS) digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien dengan SLE. Meski memunculkan banyak efek samping, KS tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai antiinflamasidan imunosupresi. Dosis KS yang digunakan juga bervariasa. Untuk meminimalkan masalah interpretasi dari pembagian ini maka dilakukanlah standarisasi berdasarkan patofisiologi dan farmakokinetiknya.
Terminologi pembagian dosis kor kosteroid tersebut adalah :
Dosis rendah         : < 7.5 mg prednison atau setara perhari
Dosis sedang         : >7.5 mg, tetapi  < 30 mg prednison atau setara perhari
Dosis tinggi           : >30 mg, tetapi < 100 mg prednison atau setara perhari
Dosis sanga tinggi : >100 mg prednison atau setara perhari
Terapi pulse           : >250 mg prednison atau setara perhari untuk 1 hari atau beberapa hari
Pengobatan SLE Berdasarkan Jenis Penyakitnya.
a. Pengobatan SLE Ringan
Pilar pengobatan pada SLE ringan dijalankan secara bersamaan dan berkesinambungan serta ditekankan pada beberapa hal yang penting agar tujuan di atas tercapai, yaitu:
Obat-obatan
 -  Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.
 - Obat anti in lamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan pengelolaan nyeri dan in lamasi.
 -  Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan potensi ringan)
 -  Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa mata pada saat awal akan pemberian dan dilanjutkan  setiap 3 bulan, sementara hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari) dan periksa mata setiap  6-12 bulan.
 -  Kortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang setara.
Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection factor sekurang- kurangnya 15 (SPF 15)
b. Pengobatan SLE Sedang
Pilar penatalaksanaan SLE sedang sama seperti pada SLE ringan kecuali pada  pengobatan. Pada SLE sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta mengikuti protokol pengobatan yang telah ada.  Misal pada serosistis yang refrakter: 20 mg / hari prednison atau yang setara.
c. Pengobatan SLE Berat atau Mengancam Nyawa

Pilar pengobatan sama seperti pada SLE ringan kecuali pada penggunaan obatobatannya.Pada SLE berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan.

2.11      Penatalaksanaan Medis

Lupus adalah penyakit seumur hidup, karenanya pemantauan harus dilakukan selamanya. Tujuan pengobatan SLE adalah mengontrol manifestasi penyakit, sehingga anak dapat memiliki kualitas hidup yang baik tanpa eksaserbasi berat, sekaligus mencegah kerusakan organ serius yang dapat menyebabkan kematian (Hockenberry & Wilson, 2009). Tatalaksana primer pada SLE meliputi:
  1. Mengurangi inflamasi dan meminimalisir komplikasi Adapun obat-obatan yang dibutuhkan seperti:
  1. Antiinflamasi non steroid (NSAIDs), untuk mengobati simptomatik artralgia nyeri sendi.
  2. Antimalaria, Diberikan untuk lupus diskoid. Pemakaian jangka panjang memerlukan evaluasi retina setiap 6 bulan.
  3. Kortikosteroid, Dosis rendah, untuk mengatasi gejala klinis seperti demam, dermatitis, efusi pleura. Diberikan selama 4 minggu minimal sebelum dilakukan penyapihan. Dosis tinggi, untuk mengatasi krisis lupus, gejala nefritis, SSP, dan anemi hemolitik.
  4. Obat imunosupresan/sitostatika, Imunosupresan diberikan pada SLE dengan keterlibatan SSP, nefritis difus dan membranosa, anemia hemolitik akut, dan kasus yang resisten terhadap pemberian kortikosteroid.
  5. Obat antihipertensi, Atasi hipertensi pada nefritis lupus dengan agresif
  6. Kalsium, Semua pasien SLE yang mengalami artritis serta mendapat terapi prednison berisiko untuk mengalami mosteopenia, karenanya memerlukan suplementasi kalsium.
2. Dialisis atau transplantasi ginjal Pasien dengan stadium akhir lupus nefropati, dapat dilakukan dialisis atau transplantasi ginjal
3. Diet Restriksi diet ditentukan oleh terapi yang diberikan. Sebagian besar pasien memerlukan kortikosteroid, dan saat itu diet yang diperbolehkan adalah yang mengandung cukup kalsium, rendah lemak, dan rendah garam. Pasien disarankan berhati-hati dengan suplemen makanan dan obat tradisional.
4. Aktivitas Pasien lupus sebaiknya tetap beraktivitas normal. Olah raga diperlukan untuk mempertahankan densitas tulang dan berat badan normal. Tetapi tidak boleh berlebihan karena lelah dan stress sering dihubungkan dengan kekambuhan. Pasien disarankan untuk menghindari sinar matahari, bila terpaksa harus terpapar matahari harus menggunakan krim pelindung matahari (waterproof sunblock) setiap 2 jam. Lampu fluorescence juga dapat meningkatkan timbulnya SLEi kulit pada pasien SLE.
5. Penatalaksanaan infeksi Pengobatan segera bila ada infeksi terutama infeksi bakteri. Setiap kelainan urin harus dipikirkan kemungkinan pielonefritis.

2.13 Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1.      Anamnesis riwayat kesehatan sekarang dan pemeriksaan fisik difokuskan pada gejala sekarang dan gejala yang pernah dialami seperti keluhan mudah lelah, lemah, nyeri, kaku, demam/panas, anoreksia dan efek gejala tersebut terhadap gaya hidup serta citra diri pasien.
2.      Kulit
Ruam eritematous, plak eritematous pada kulit kepala, muka atau leher.
3. Kardiovaskuler
Friction rub perikardium yang menyertai miokarditis dan efusi pleura. SLE eritematous papuler dan purpura yang menjadi nekrosis menunjukkan gangguan vaskuler terjadi di ujung jari tangan, siku, jari kaki dan permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tanga.
4. Sistem Muskuloskeletal
Pembengkakan sendi, nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, rasa kaku pada pagi hari.
5. Sistem integumen
SLE akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pangkal hidung serta pipi. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum
6. Sistem pernafasan
Pleuritis atau efusi pleura.
7. Sistem vaskuler
Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan SLEi papuler, eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
8. Sistem Renal
Edema dan hematuria.
9. Sistem saraf
Sering terjadi depresi dan psikosis, juga serangan kejang-kejang, korea ataupun manifestasi SSP lainnya.

B. Diagnosa Keperawatan
1.        Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
2.        Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
3.        Gangguan integritas kulit berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
4.        Kerusakan mobilitas fisik berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisaik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
5.        Gangguan citra tubuh berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit, penumpukan kompleks imun.

C. Intervensi
1. Nyeri berhubungan dengan inflamasi dan kerusakan jaringan.
Tujuan : perbaikan dalam tingkat kennyamanan
Intervensi :
a)      Laksanakan sejumlah tindakan yang memberikan kenyamanan (kompres panas /dingin, masase, perubahan posisi, istirahat; kasur busa, bantal penyangga, bidai, teknik relaksasi, aktivitas yang mengalihkan perhatian)
b)      Berikan preparat antiinflamasi, analgesik seperti yang dianjurkan.
c)      Sesuaikan jadwal pengobatan untuk memenuhi kebutuhan pasien terhadap penatalaksanaan nyeri.
d)     Dorong pasien untuk mengutarakan perasaannya tentang rasa nyeri serta sifat kronik penyakitnya.
e)      Jelaskan patofisiologik nyeri dan membantu pasien untuk menyadari bahwa rasa nyeri sering membawanya kepada metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
f)       Bantu dalam mengenali nyeri kehidupan seseorang yang membawa pasien untuk memakai metode terapi yang belum terbukti manfaatnya.
g)      Lakukan penilaian terhadap perubahan subjektif pada rasa nyeri.

2. Keletihan berhubungan dengan peningkatan aktivitas penyakit, rasa nyeri, depresi.
Tujuan : mengikutsertakan tindakan sebagai bagian dari aktivitas hidup sehari-hari yang
diperlukan.Intervensi :
             a)     Beri penjelasan tentang keletihan :
-  Hubungan antara aktivitas penyakit dan keletihan
-  Menjelaskan tindakan untuk memberikan kenyamanan sementara melaksanakannya
-  Mengembangkan dan mempertahankan tindakan rutin unutk tidur (mandi air hangat dan teknik relaksasi yang memudahkan tidur)
-  Menjelaskan pentingnya istirahat untuk mengurangi stres sistemik, artikuler dan emosional
-  Menjelaskan cara mengggunakan teknik-teknik untuk menghemat tenaga
b)        Kenali faktor-faktor fisik dan emosional yang menyebabkan kelelahan.
c)        Fasilitasi pengembangan jadwal aktivitas/istirahat yang tepat.
d)       Dorong kepatuhan pasien terhadap program terapinya.
e)        Rujuk dan dorong program kondisioning.
f)         Dorong nutrisi adekuat termasuk sumber zat besi dari makanan dan suplemen.

3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan rentang gerak, kelemahan
otot, rasa nyeri pada saat bergerak, keterbatasan daya tahan fisik.
 Tujuan : mendapatkan dan mempertahankan mobilitas fungsional yang optimal.
Intervensi :
a)                                                         Dorong verbalisasi yang berkenaan dengan keterbatasan dalam mobilitas.
b)                                                        Kaji kebutuhan akan konsultasi terapi okupasi/fisioterapi :
1.    Menekankan kisaran gherak pada sendi yang sakit
2.    Meningkatkan pemakaian alat bantu
3.    Menjelaskan pemakaian alas kaki yang aman.
4.    Menggunakan postur/pengaturan posisi tubuh yang tepat.
c)                                                         Bantu pasien mengenali rintangan dalam lingkungannya.
d)                                                        Dorong kemandirian dalam mobilitas dan membantu jika diperlukan
1.    Memberikan waktu yang cukup untuk melakukan aktivitas
2.    Memberikan kesempatan istirahat sesudah melakukan aktivitas
3.    Menguatkan kembali prinsip perlindungan sendi

4. Gangguan citra tubuh berhubungqan dengan perubahan dan ketergantungan fisik serta psikologis yang diakibatkan penyakit kronik.
Tujuan : mencapai rekonsiliasi antara konsep diri dan erubahan fisik serta psikologik
yang ditimbulkan penyakit
a)      Bantu pasien untuk mengenali unsur-unsur pengendalian gejala penyakit dan penanganannya.
b)      Dorong verbalisasi perasaan, persepsi dan rasa takut
c)      Membantu menilai situasi sekarang dan menganli masahnya.
d)     Membantu menganli mekanisme koping pada masa lalu.
e)      Membantu mengenali mekanisme koping yang efektif.

5. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan fungsi barier kulit,  penumpukan kompleks imun. Tujuan : pemeliharaan integritas kulit.
Intervensi :
·        Lindungi kulit yang sehat terhadap kemungkinan maserasi
·        Hilangkan kelembaban dari kulit
·        Jaga dengan cermat terhadap resiko terjadinya sedera termal akibat penggunaan kompres hangat yang terlalu panas.
·        Nasehati pasien untuk menggunakan kosmetik dan preparat tabir surya.
·        Kolaborasi pemberian NSAID dan kortikosteroid.

D. Evaluasi
Evaluasi adalah merupakan salah satu alat untuk mengukur suatu perlakuan atau tindakan keperawatan terhadap pasien. Dimana evaluasi ini meliputi evaluasi formatif /  evaluasi proses yang dilihat dari setiap seSLEai melakukan implementasi yang dibuat setiap hari sedangkan evaluasi sumatif / evaluasi hasil dibuat sesuai dengan tujuan yang dibuat mengacu pada kriteria hasil yang diharapkan. Adapun evaluasi yang di harapkan pada klien dengan kasus SLE (Sistemisc lupus erythematosus) ialah :
a)        Skala nyeri normal dan nyeri berkurang.
b)        Aktivitas sehari – hari teratur sesuai kebutuhan dan di sesuaikan dengan kondisi klien.
c)        Klien dapat melakukan imobilisasi dalam memenuhi kegiatan sehari – harinya.
d)       Integritas kulit kembali normal ( Elastis, Halus dan bersih ).
e)        Klien mengerti dan menerima terhadap penyakitnya.






BAB III
PENUTUP


3.1            KESIMPULAN

Berdasarkan materi dalam makalah ini tim penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1) Penyakit lupus merupakan salah satu penyakit berbahaya selain AIDS dan kanker. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit autoimun, dimana sistem imun terbentuk secara berlebihan sehingga kelainan ini lebih dikenal dengan nama autoimunitas.
2) Penyebab penyakit ini belum diketahui secara pasti apa yang menyebabkannya tetapi diduga yang menjadi penyebabnya adalah factor genetik, infeksi (kuman dan virus) sinar ultraviolet, obat-obatan tertentu, dan lingkungan. Para ilmuwan menduga penyakit ini ada kaitannya dengan hormon estrogen.
3) Manifestasi klinis penyakit ini sangat beragam tergantung organ yang terlibat dimana dapat melibatkan banyak organ dalam tubuh manusia dengan perjalanan klinis yang kompleks, sangat bervariasi, dapat ditandai oleh serangan akut, periode aktif, kompleks, atau remisi dan seringkali pada keadaan awal tidak dikenali sebagai SLE.
4) Diagnosis SLE, dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium. American College of Rheumatology (ACR). Terkait dengan dinamisnya perjalanan penyakit SLE, maka diagnosis dini tidaklah mudah ditegakkan. Dimana apabila didapatkan 4 kriteria, diagnosis SLE dapat ditegakkan.

3.2            SARAN

Sebagai tenaga propesional tindakan perawat dalam penanganan masalah keperawatan  khususnya sistemics lupus erythematosus ( SLE ) harus di bekali dengan pengetahuan yang luas dan tindakan yang di lakukan harus rasional sesuai gejala penyakit.


DAFTAR PUSTAKA


Chang, Esther, dkk. 2009. Patofisiologi Aplikasi Praktik Keperawatan. Jakarta: EGC.
Engram, Barbara. 1998. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal-Bedah Volume 2. Jakarta: EGC.
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC
DW Rindhi. 2011. Lupus Eritematosus Sistemik (SLE) (Jurnal artikel). Semarang. Semarang: Fakultas Kedokteran. Universitas Diponegoro.
Estiasari, Riwanti. 2009. Disfungsi Kognitif pada penderita Lupus Eritematosus Sistemik (Tesis). Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Kurnianingsih, Penerj. Jakarta, DKI Jakarta, Salemba: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
MD Daniel J, Wallace.2007. The Lupus Book. Jogjakarta: B first.
Smeltzer, Suzanne C. 2007. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddart edisi 8 volume 3. Jakarta : EGC
Yanti, G., SLEtari, I. D., Christiana, R., & Sunarsi. 2010. Gambaran faktor- faktor yang mempengaruhi ketidakdisiplinan perawat dalam melakukan pendokumentasian asuhan keperawatan di Rumah Sakit Asri Jakarta. Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan; Universitas Indonesia.
Sumber lain :
http://www.penyakitlupus.net/ , diakses pada tanggal 2 Oktober 2015, jam 00:46 WIB
Editor : Prof. DR. Adhi Juanda. Anggota Editor : dr. Mochtar hamzah, DR. Siti Aisah. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Ketiga. Bagian Penyakit Kulit dan Kelamin FKUI. Jakarta, 1999.
Tiara Savitri, dalam Aku & Lupus. Puspa Swara.
Editor : Prof. dr. H. M. Sjaiffoellah Noer dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi Ketiga. Penerbit ; Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 1996.
Fitzpatrick’s in : Color Atlas and Synopsisof Clinical Dermatology. Fifth Edition.
Charles D. Forbes, William F. Jackson in : Illustrated Pocket Guide to Clinical Medicine. Second Edition 2004. Mosby


Unknown

Developer

Cras justo odio, dapibus ac facilisis in, egestas eget quam. Curabitur blandit tempus porttitor. Vivamus sagittis lacus vel augue laoreet rutrum faucibus dolor auctor.

0 komentar:

Posting Komentar